Ebook : Rp 5.000,-
===============================
Judul : “Sebuah Kain Batik”
===============================
Untuk semua Umur
Tentang Cinta, Hidup, Keluarga, Mati
Oleh Pengarang Urban
===============================
Bukti Transfer Email ke-
“adyJemblung@yahoo.co.id”
Ebook di kirim Via Email Anda+
7 lagu Band Indie

Selasa, 13 Juli 2010

NOVEL SEBUAH KAIN BATIK

Dan Kehidupan ini seperti halnya sebuah Kain Batik , awalnya hanyalah sebuah lembaran kain putih biasa , dimana kita akan menggambar suatu pola yaitu sebuah keinginan dalam hidup , kemudian kita warnai pola yang telah tercoret di kain putih itu , dengan penuh kesabaran dalam mengerjakannya , pasti seiring dengan waktu kita akan bisa menikmati keindahan hasil karya itu .

Dan coba kita bayangkan jika kita mengerjakannya tanpa adanya kesabaran , apakah akan menjadi lembaran Kain Batik yang apik ? atau bisakah di sebut dengan Kain Batik ?

CUPLIKAN NOVEL SEBUAH KAIN BATIK

Semilir udara dingin dan angin-angin kecil berhamburan menghembuskan kesejukan membuat tangannya harus mendekap erat tubuhnya yang gemetar , terkadang angin – angin kecil itu menyibak helaian rambut lurus hitamnya , tapi tak pernah sesekali digubris .

Jalan itu seakan seperti lautan aspal yang tak terlihat ujungnya , lurus dan panjang , Pohon – pohon rindang tumbuh di kiri – kanan ruas jalan , seakan membentuk sebuah terowongan , terowongan berbahan dedaunan yang lebat nan hijau , mereka bergoyang seiring aluran angin berhembus .

Namun sekali lagi dia tak lagi minat untuk menemukan keindahan itu , dia hanya ingin melangkahkan kakinya , meski pohon – pohon itu seakan – akan menyapa dirinya dengan menggesekan ranting – ranting kecilnya , tapi dia hanya menunduk , karena hatinya bergejolak .

Seiring langkahnya tampak dari jauh mentari merangkak menghilang di perbukitan yang menjulang tinggi ke angkasa , cahayanya mulai memerah menyampaikan pesan kepada semua alam , cakrawala dan seisinya , bahwa untuk hari ini tugasnya telah selesai .

Dan dia pun mempercepat langkah kakinya , untuk segera menyudahi perjalanan itu terlebih lagi menyudahi perasaannya . .

Hampir setengah jam dia berjalan , lalu berhenti di depan sebuah gang di sudut pinggiran kota kecil yang jauh dari kumpulan ego manusia , dia menyandarkan tubuhnya di sisi gapura dan melihat ke dalam gang , rasanya berat untuk kembali melangkahkan kakinya ke dalam gang itu , tapi dia ingin menyelesaikan langkahnya .

Berselang beberapa rumah , dia berhenti di depan rumah mungil yang dihiasi kembang – kembang seribu warna yang tertata cantik dan apik di halamannya , sebuah hunian sederhana tapi penuh dengan cerita dan kenangan masa lalu dan esok . Dia masuk ke halamannya dan menuju pintu rumah .

“ Bu . . , aku pulang . . “ seru dia sambil mengetuk pintu rumah , lalu dia pun membuka pintu itu dan seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur , “ Lho ? cepat amat . . ? “ Tanya Ibu itu tanpa ada perasaan apa – apa , tapi gadis itu tak membalas pertanyaan itu , hanya berlalu begitu saja dari sang Ibu , langsung menuju kamar . Ibunya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya dan sesekali memandang arah matanya keluar sambil menutup pintu rumah .

Di dalam kamar , gadis itu merebahkan tubuhnya di tempat tidur , dia masih terdiam seraya memandangi langit – langit kamarnya , namun dia tak bisa lagi membendung kekecewaan , sakit hati , marah .

Dan akhirnya air matanya tertumpah , isak tangisnya dia tutupi dengan bantal bersarung biru , dia menumpahkan semuanya , , menjerit dan tengelam dalam kesedihan . .

Kamar itu mulai gelap , jam menunjuk hampir pukul 05.30 sore dengan pandangan mata yang mulai kabur karena air mata , dia tersadar dari kegalauan lalu dia merogoh sebuah ponsel dari sakunya , meski dengan suara lebam , dia mencoba untuk bicara sejelas – jelasnya .

“ Hey . . kamu bisa nggak temeni aku ? . . aku sekarang ada di rumah . . tolong yach ?? . . oke Tanks . . “ lalu ditutup ponsel itu dan bangkit dari tidurnya ke arah meja rias dan lalu memandang jauh di dalam raut wajahnya walau tak tampak jelas . . karena gelap . Kemudian dia hidupkan lampu kamar dan menuju kamar mandi

#

Kerumunan kendaraan saling berhimpit di jalanan yang berjarak tak sampai setengah kilometer, sudah seperti tradisi setiap hari menjelang malam , jalan Stasiun adalah pusat kemacetan di kota kecil itu , meski sudah puluhan tahun tak ada lagi kereta api yang masuk ke kota kecil itu .

Jalan Stasiun adalah lokasi keramaian , deretan pedagang kaki lima menjajakan berbagai macam makan , di sela kemacetan itu terlihat sebuah sepeda pancal meliuk – liuk merebutkan jalur jalanan yang tersisa sempit , agar lolos dari kemacetan . Dan sering kali hampir menabrak penguna jalan yang lain tapi dengan sigap , kedua tangannya meremas tuas rem dan langsung membanting setir ke kanan – kiri . Akhirnya dengan bermandikan keringat , dia sampai di depan rumah sahabatnya .

“ Permisi . . “ sapanya sambil mengetuk pintu , “ Ya . . sebentar . . “ sebuah jawaban dari dalam rumah itu , lalu pintu itu terbuka “ Hey . . kamu ?? “ sapa Ibu Karira , “ Kariranya ada Bude’ ? “ Tanya gadis itu , “ Ada . . , ayo masuk “ Ibu Karira mempersilahkan masuk , “ Makasih Bude’ “ Dia pun masuk dengan perasaan yang tak seperti biasanya , “ Kariranya ada di kamar mandi . . “ sahut Ibu Karira seraya memeluk pundak gadis itu , “ Sebenarnya ada masalah apa . . . ? “ Tanya Ibu Karira kepadanya , “ Saya sendiri juga tidak tau . . . ? “ Timpalnya , “ Ya sudah . . ? paling – paling masalah anak muda . . . ? “ senyum Ibu Karira , lalu Ibu Karira mempersilahkan dia menjemput Karira .

Beberapa langkah kemudian dia sampai di kamar mandi , lalu mengetuk pintu itu perlahan , seraya memanggil sahabatnya , tapi tak ada jawaban dari dalam , hanya terdengar gemericik air , tapi dia tak menyerah , dicobanya lagi memanggil sahabatnya dan kali ini dia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar mandi itu yang ternyata tak terkunci . . . , betapa terkejutnya dia melihat sahabatnya . . . , hatinya seperti terpukul keras , melihat kondisi sahabatnya yang jauh dari biasanya , pucat , matanya kosong . Secepat kilat dia mehampiri tubuh sahabatnya yang tengah basah dan dingin , dan dia pandu tangan sahabatnya seraya menyahut handuk yang belum terpakai itu dan menyelimuti tubuh sahabatnya .

Ibu Karira yang melihat anaknya , spontan hatinya bergetar dan ikut memapah Karira menuju kamar , beliau hanya bisa memandang tajam dalam mata Karira , ada apakah ini ? apa yang terjadi ?

“ Jeny . . Bude’ mau buatkan cokelat panas ya . . ? “ seru Ibu Karira kepada Jeny setelah membaringkan tubuh Karira , “ Oya . . , saya juga mau buat mie Instans Bude’ . . “ sahut Jeny ,“ Kita makan bareng – bareng . . “ Lanjut Jeny seraya tersenyum kepada Ibu Karira dan menyemangati sahabatnya Karira , Ibu Karira juga membalas senyum tapi Karira hanya mengangguk lemas sambil memandang kedua orang yang penuh perhatian itu .

Beberapa saat kemudian Jeny kembali ke kamar Karira dengan membawa tiga gelas cokelat panas dan meletakkannya di atas meja rias , lalu dia duduk di samping Karira di atas tempat tidur , Jeny ingin sekali tau permasalahannya tapi dia tau bagaimana sifat sahabatnya itu , tapi Jeny merasa harus meski hasilnya nol . . .

“ Ir . . . , ada apa sebenarnya . . . ? “ Tanya Jeny , “ Maaf Jen , aku saat ini nggak mau membahasnya . . . “ Jawab Karira dengan perasaan dalam , “ Yang penting saat ini . . . kamu mau temeni aku . . . , aku cuma ingin itu saja . . . “ lanjut Karira sambil memeluk bantal , “ Baiklah kalau itu maumu . . , kita membahas yang lain saja . . . “ jawab Jeny seraya menepuk tangan Karira , sebagai tanda bahwa dia setuju dengan Karira .

Lalu Ibu Karira datang membawa tiga mangkuk mie instans panas , dan berangsur – angsur suasana di kamar itu tidak lagi suram , tawa – tawa kecil mulai nampak dan kembali ceria meski masih ada sedikit kekurangan .

Tak terasa hari mulai malam dan mereka bertiga menyudahi kegembiraan itu dengan hati penuh kelegaan . terutama Ibu Karira , beliau merasa betapa lapang hatinya melihat anak satu – satunya itu kembali ceria . . . , dan beliau merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa , karena Karira masih mempunyai teman yang mau mengerti kondisinya yang tak berbapak .

#

Hari demi hari Karira lewati seperti biasanya , membantu sang ibu dalam usaha garmen kecil – kecilan , meski kecil tapi dari usaha itu telah mendapatkan hasil lebih dari cukup , sekarang Ibu Karira bisa menyisihkan sedikit demi sedikit dari sisa pendapatannya , dengan tujuan mengumpulkan modal untuk membesarkan usaha garment itu , karena dari beberapa bulan terakhir permintaan dari buyer terus mengalami peningkatan dan permintaannya pun tidak hanya dari pasar lokal saja , tapi pasar ekspor mulai melirik kualitas garment Ibu Karira , meski tidak seratus persen pengambilan dari Garment Beliau , tapi dengan melihat antusias pihak Buyer maupun Suplliyer , kesempatan untuk berkembang lebih besar sangatlah mudah .

Tapi Karira mempunyai cita – cita tersendiri , yaitu masih ingin memuaskan hasratnya untuk menjadi seorang perawat , hasrat yang telah dia tinggalkan beberapa tahun lamanya , suatu ketika Karira melamar menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit kota , karena dia sendiri adalah seorang lulusan Sekolah Akademi Perawat , dengan grade yang bisa dijadikan modal utama , selain akademis dia telah menoreh catatan bagus dari beberapa Rumah Sakit pada saat dia melakukan Magang .